health

[health][bsummary]

vehicles

[vehicles][bigposts]

business

[business][twocolumns]

Di Balik Tersohornya Pesantren dengan Nama Daerahnya

Santri di sebuah pesantren di Cirebon, Jawa Barat, sedang belajar dengan penerangan lampu minyak tanah. [istimewa]

Jakarta
, NU Online  Jika kita perhatikan, banyak pesantren di Pulau Jawa yang terkenal dengan menyebut nama daerahnya. Nama asli pesantren yang biasanya menggunakan bahasa Arab malah kalah tenar dengan nama daerah di mana pesantren itu berada. Di antaranya adalah Pesantren Tebuireng, Lirboyo, Pesantren Ploso, Pesantren Sarang, Pesantren Sidogiri, Pesantren Krapyak, Pesantren Tegalrejo, dan masih banyak yang lainnya. 

Mungkin selama ini, banyak orang yang tidak tahu nama asli dari pesantren-pesantren yang disebutkan ini. Lalu apa yang mendasari para ulama terdahulu lebih memilih untuk menyebut pesantrennya dengan nama asli daerahnya dari pada mempublikasikan nama asli pesantrennya? 

Menurut KH Said Aqil Siroj, hal ini menunjukkan bahwa para ulama menyadari pentingnya pemahaman agama yang diiringi dengan semangat kecintaan pada tanah air. Penamaan pesantren dengan nama daerahnya memperkuat semangat nasionalisme. 

“Kiai-kiai dulu ketika membangun pesantren, nggak penting namanya terkenal. Yang penting nama desanya,” ungkapnya saat Haul Ke-33 KH Aqil Siroj di Pesantren Kempek Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (10/9/2022). 

“Ini menunjukkan bahwa ruhul wathaniyah (jiwa nasionalisme) dimiliki oleh para kiai-kiai,” imbuhnya.

Menurut alumni Pesantren Lirboyo ini menunjukkan bahwa pesantren merupakan benteng yang kokoh dalam membangkitkan semangat nasionalisme. Maka selama ada pesantren, maka tidak perlu khawatir Indonesia akan bubar dan Islam Ahlussunah wal Jamaah hilang dari negeri Indonesia.

Selain mendidik para santri untuk beragama dan berbangsa dalam satu tarikan napas, pesantren juga lanjut Kiai Said senantiasa membekali para santrinya dengan karakter dan akhlak.  Baca Juga: Menengok Kamar KH Hasyim Asy’ari di Pesantren Langitan “Ilmu pengetahuan tidak ada gunanya kalau tidak berakhlak. Kalau nggak berkarakter,” tegasnya. 

Saat ini, ungkap Kiai Said, banyak dijumpai fenomena orang yang berilmu namun tidak memiliki akhlak dan karakter kuat sehingga mudah melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. 

Sehingga ia menegaskan bahwa pendidikan karakter harus lebih dikedepankan dibanding ilmu. “Karakter sebelum ilmu. Kalau skill dulu, ilmu dulu, baru akhlak, nggak mungkin akan berhasil. Maka hakim yang mudah disuap, pintar tapi tidak berakhlak. Jaksa yang mudah disuap, pintar tapi tidak berakhlak. Polisi yang mudah disuap, pintar tapi tidak berakhlak,” ungkapnya. 

Mengaca kepada kisah Nabi Adam pun menurut Kiai Said, akar permasalahan Nabi Adam memakan buah khuldi dan diturunkan ke bumi adalah karena mengedepankan ilmu dari pada karakter, hikmah dan kebijaksanaan.  “Nabi Adam saja dengan ilmunya, tergoda hawa nafsu. Padahal Nabi Adam (adalah orang) pintar. (Jadi) ilmu tidak ada gunanya kalau tanpa hikmah, tanpa wisdom,” jelasnya. 

“Puncak perjalanan intelektual adalah kebingungan dan kebuntuan. Tapi puncak perjalanan intuisi spiritual akan mendapatkan kearifan dan kebijakan,” imbuhnya. 

Pewarta: Muhammad Faizin 

Editor: Syamsul Arifin 


No comments:

Post a Comment